Aku masih ingat betul,
waktu itu pukul 18.59 saat kamu mulai meraihku melalui sambungan telepon.
Lelaki yang dengan cepat membuatku jatuh hati, apa kabar? Suara berat khas
lelaki menjadi candu-ku. Kamu adalah candu-ku, lelaki yang aku panggil ‘abang’.
‘Dek.. kamu ke Bandung
besok? Yah.. abang ditinggal lagi’
‘Udah makan, dek?’
‘Adek jangan dulu bobok
, temenin abang piket ya malem ini’
‘Awas ya kalo bohong,
pokoknya abang kasih adek hukuman deh’
Aku juga masih ingat
penggalan kalimat yang meluncur dari mulutmu. Bagaimana kamu berbicara
denganku, bagaimana renyahnya tawamu. Masih terbayang apapun tentang kamu.
Ah, beginikah bodohnya.
Aku masih teringat hingga saat ini ketika hadirmu sudah lenyap sejak lama.
‘Kayaknya lebih asik
kalo adek jadi adek benarannya abang ya. Mau ga?’
Mengharap lebih dan
yang kuterima hanyalah ini. Aku salah menilai. Kamu-pun sama, salah menilaiku. Kamu
pikir aku mau kamu anggap aku seperti adikmu. Aku tak terlalu baik untuk
menjadi adikmu. Aku ingin lebih. Aku sudah merasa nyaman padahal. Lagi-lagi, aku
gigit jari.
Entahlah, aku tak
pernah bisa mengerti apa maksud Semesta. Aku sedang tak ingin bermain-main, aku
hampir lelah dengan segala teka-teki-Nya yang tak bisa aku pecahkan sendiri.
Selamat
berbahagia dengan siapapun kamu nantinya.
Salam rindu,
dari adik-mu yang
sebenarnya tak pernah ingin menjadi
adik-mu...